JAKARTA - Puluhan warga Pademangan Barat, Jakarta Utara, turun ke jalan dan menggelar aksi demonstrasi di Jalan RE Martadinata pada Senin 5 Mei 2025. Aksi ini merupakan bentuk protes keras terhadap banjir yang sudah melanda permukiman mereka selama berbulan-bulan. Warga menduga, genangan air yang tak kunjung surut itu merupakan dampak langsung dari proyek pembangunan jalan tol di kawasan tersebut.
Dalam aksi tersebut, massa memblokade sebagian ruas Jalan RE Martadinata, yang merupakan salah satu jalur utama di wilayah utara Jakarta. Akibatnya, arus lalu lintas di sekitar lokasi menjadi macet parah dan berlangsung cukup lama hingga aparat kepolisian dikerahkan untuk menertibkan situasi.
Menurut keterangan warga, banjir yang sebelumnya hanya muncul sesekali saat musim hujan, kini menjadi fenomena permanen. Mereka menyebut bahwa sejak proyek pembangunan jalan tol dimulai, sistem drainase di sekitar lingkungan mereka terganggu hingga menyebabkan air tidak mengalir sebagaimana mestinya.
Warga Merasa Terabaikan
Dalam aksi tersebut, warga membawa berbagai spanduk bertuliskan tuntutan mereka, seperti "Kami Butuh Solusi, Bukan Janji" dan "Stop Banjir Akibat Proyek Tol". Mereka juga menyerukan agar pihak pelaksana proyek, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta pengembang jalan tol segera bertanggung jawab atas kondisi banjir yang telah merusak kualitas hidup mereka.
“Sudah hampir empat bulan rumah kami tergenang air. Kami sudah lapor ke RT, RW, kelurahan, bahkan ke kecamatan, tapi belum ada solusi nyata. Ini bukan lagi soal genangan biasa, tapi kami sudah hidup dalam banjir setiap hari,” ujar Dedi, salah satu warga RW 02 Pademangan Barat, yang ikut dalam demonstrasi.
Dugaan Kerusakan Saluran Drainase
Sejumlah warga mengaku banjir mulai menjadi langganan sejak alat berat dan pekerjaan proyek tol mendominasi kawasan Jalan RE Martadinata. Berdasarkan pengamatan warga, terdapat beberapa saluran air yang tertutup tumpukan tanah proyek, bahkan beberapa gorong-gorong lama disebut telah rusak atau tertimbun.
“Setiap kami tanya ke pekerja proyek, mereka bilang drainase akan dibenahi belakangan. Tapi sampai sekarang tidak ada yang diperbaiki. Saluran air malah semakin parah dan tidak berfungsi,” kata Siti, seorang ibu rumah tangga yang rumahnya kerap terendam hingga 30 sentimeter.
Salah satu dampak paling terasa dari banjir ini adalah kerusakan pada perabotan rumah tangga dan meningkatnya risiko penyakit. Beberapa warga juga melaporkan anak-anak mereka mulai terkena gatal-gatal dan infeksi kulit akibat hidup di tengah genangan air yang tidak higienis.
Jalan Tol dan Persoalan Lingkungan
Proyek tol yang melintasi kawasan RE Martadinata diketahui merupakan bagian dari pengembangan infrastruktur strategis nasional untuk mengurai kemacetan dan meningkatkan konektivitas antarwilayah di Jabodetabek. Namun, dalam implementasinya, proyek ini kembali menimbulkan pertanyaan besar terkait pengelolaan dampak lingkungan dan sosial terhadap warga sekitar.
Ahli tata kota dari Universitas Trisakti, Dr. Bambang Heryanto, menilai bahwa proyek infrastruktur besar harusnya disertai kajian dampak lingkungan dan sosial yang matang, termasuk mitigasi risiko seperti banjir.
“Sebuah proyek strategis tidak boleh hanya menekankan aspek pembangunan fisik. Penanganan saluran air, drainase, dan keselamatan warga di sekitar proyek harus menjadi bagian dari perencanaan sejak awal,” ujar Dr. Bambang saat dimintai pendapat, Selasa 6 Mei 2025.
Menurutnya, kejadian di Pademangan menunjukkan bahwa komunikasi dan koordinasi antara pengembang proyek dan pemerintah daerah masih lemah. Padahal, keterlibatan masyarakat sejak tahap awal dapat mencegah masalah yang kini justru meledak di lapangan.
Respons Pemerintah dan Pengembang Ditunggu
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak kontraktor proyek tol maupun Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Beberapa pejabat kelurahan yang dikonfirmasi menyatakan bahwa laporan dari warga sudah disampaikan ke tingkat kota, dan mereka menunggu tindak lanjut dari instansi terkait.
Sementara itu, warga mengancam akan menggelar aksi susulan jika dalam waktu dekat tidak ada penanganan serius terhadap banjir di lingkungan mereka. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah mengusulkan untuk membawa persoalan ini ke Ombudsman RI dan Komnas HAM, karena merasa hak-hak dasar mereka sebagai warga telah terabaikan.
“Kami sudah capek dijanjikan terus. Kalau sampai akhir bulan ini tidak ada realisasi perbaikan, kami akan bawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi,” tegas Dedi.
Pemerhati Lingkungan Soroti Pelanggaran AMDAL
Menanggapi situasi tersebut, Koordinator Komite Pemantau Pembangunan Kota (KP2K), Liza Permata, menyatakan bahwa proyek jalan tol yang berdampak langsung terhadap kehidupan warga harus diaudit ulang. Ia menduga ada ketidaksesuaian antara dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan kondisi di lapangan.
“Jika memang benar sistem drainase rusak akibat proyek, maka itu pelanggaran serius. Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan warga. Audit independen perlu dilakukan untuk memastikan kesesuaian proyek terhadap regulasi lingkungan,” ujar Liza.
Kasus banjir berbulan-bulan yang melanda Pademangan Barat menjadi gambaran nyata bagaimana proyek pembangunan yang tidak disertai pengawasan ketat bisa berdampak negatif pada masyarakat. Warga bukan menolak pembangunan, tapi mereka meminta keadilan dan tanggung jawab.
Selama pemerintah dan pengembang belum memberikan solusi konkret, warga Pademangan Barat akan terus memperjuangkan hak mereka. Aksi blokade jalan pada 5 Mei 2025 menjadi simbol bahwa masyarakat tidak lagi tinggal diam ketika hidup mereka terganggu oleh pembangunan yang tak berpihak.
Kini, publik menanti langkah nyata dari Pemprov DKI Jakarta, pengembang proyek tol, dan instansi terkait untuk mengatasi banjir di Pademangan—bukan hanya dengan janji, tapi dengan tindakan konkret.